Selasa, 14 Mei 2013

Wanita di Persimpangan


Pr.Chindi Pramana

Persimpangan, berarti jalan yang bercabang, lebih dari satu dan sesuatu yang lebih dari satu itu harus dipilih, memilih itu memang tak semudah membacanya kan? Iya, tapi memilih itu ga harus salah satu bisa salah dua atau salah tiganya. Semua pilihan itu ada di tangan kalian, mau memilih satu atau dua atau tiga tapi ingat semuanya ga bisa kamu miliki dalam waktu bersamaan.
Hari ini aku melihat ke arah lain dari sisi kehidupan cinta wanita lain, wanita muda sedang berdiri di persimpangan yang sama denganku. Persimpangan antara rasa menyerah dan rasa menunggu. Aku masih di persimpangan itu, aku masih diam tanpa memilih, aku masih berharap angin akan menerbangkanku ke simpang yang benar, seperti itu pula wanita di sampingku ini. Aku bisa melihat semua air mata yang tidak ia keluarkan dan aku bisa membaca semua fikiran yang tidak pernah ia coba ungkapkan. Aku bukan seorang peramal yang bisa mengetahui semuanya tapi aku bisa merasakan apa yang ia rasakan. Bisik-bisik setan mulai mempengaruhi setiap desah nafasnya, seolah – olah menyuruhnya mengakhiri nyawanya sendiri tapi untunglah suara malaikat masih lebih kencang berteriak untuk mempertahankan nyawanya.
Aku masih berdiri di persimpangan yang sama tepat disebelahnya tanpa mencoba memilih jalan, aku masih membisu melihatnya yang begitu kuat menahan terpaan angin menunggu demi berjalan menuju ke jalan menyerah. Aku masih terus memperhatikan setiap kedipan mata wanita itu. Aku sungguh yakin wanita itu adalah orang yang merasakan hal yang sama denganku tapi ia sudah memilih untuk berjalan ke arah jalan menyerah dan mengakhiri semua kepedihan yang hanya ia mengerti (aku juga belum mengerti) berbeda denganku yang masih terasa berat melangkahkan tapak kakiku menuju jalan ke depan, inginku berjalan mundur dan memperbaiki semuanya bahkan mengakhiri semua ini dari awal tapi bagaimana bisa berjalan mundur sedangkan jalan dibelakangku sudah berdinding beton baja masa lalu yang mustahil dihancurkan.
Aku menikmati setiap bisikan – bisikan rumput yang menggodaku di persimpangan ini tanpa aku sadari wanita itu sudah maju lebih awal dan lebih depan satu langkah dari tempat ku berdiri. “Membisu dan berfikir” itu yang aku lakukan. Mangapa tidak ia genggam tanganku untuk melangkah bersamanya? Apa yang ia fikirkan hingga ia memilih begitu cepat dibandingkan aku? Apa salah jika aku masih berharap angin yang menerbangkanku? Bukankah hanya “pecundang” yang akan menyerah? Mengapa aku hanya berfikir, berfikir, berfikir tanpa pernah bertindak?.
Wanita itu sekarang sudah seribu langkah di depanku. Aku masih bisa melihatnya melayangkan tapak kakinya menuju jalan yang ia pilih, jalan menyerah dan aku masih terus berfikir. Sudah sewindu aku berdiri tanpa tau jalan mana yang aku pilih, tanpa berbicara, tanpa bertindak dan sekarang aku sadar dari lamunan diamku, aku mencoba membuka mulutku yang seolah – olah sudah terkunci , jika mulut ini adalah ruangan mungkin aku membayangkan betapa penuh debunya dan betapa banyak sarang laba-laba yang hinggap. Aku berteriak dengan suara letih “Mengapa tidak susah bagimu?” dan wanita itu hanya berbalik dan tersenyum sambil terus melayangkan tapak kakinya. Walaupun itu hanyalah senyuman tak berkata-kata tapi aku seolah tau maksud dari senyumnya itu.
Aku bukanlah menyerah sebagai pecundang tapi menyerah sebagai orang yang sadar akan keadaan, dimana keadaan yang tidak pernah tau akan hadirnya aku yang terus menunggu dalam diam. Aku bisa berlari untuk menuju jalan menyerah tapi aku lebih memilih berjalan, karena aku hanya ingin menikmati semua pemandangan yang akan aku lalui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar