Pr.Chindi Pramana
Persimpangan,
berarti jalan yang bercabang, lebih dari satu dan sesuatu yang lebih dari satu
itu harus dipilih, memilih itu memang tak semudah membacanya kan? Iya, tapi
memilih itu ga harus salah satu bisa salah dua atau salah tiganya. Semua
pilihan itu ada di tangan kalian, mau memilih satu atau dua atau tiga tapi
ingat semuanya ga bisa kamu miliki dalam waktu bersamaan.
Hari ini aku
melihat ke arah lain dari sisi kehidupan cinta wanita lain, wanita muda sedang
berdiri di persimpangan yang sama denganku. Persimpangan antara rasa menyerah
dan rasa menunggu. Aku masih di persimpangan itu, aku masih diam tanpa memilih,
aku masih berharap angin akan menerbangkanku ke simpang yang benar, seperti itu
pula wanita di sampingku ini. Aku bisa melihat semua air mata yang tidak ia
keluarkan dan aku bisa membaca semua fikiran yang tidak pernah ia coba
ungkapkan. Aku bukan seorang peramal yang bisa mengetahui semuanya tapi aku
bisa merasakan apa yang ia rasakan. Bisik-bisik setan mulai mempengaruhi setiap
desah nafasnya, seolah – olah menyuruhnya mengakhiri nyawanya sendiri tapi
untunglah suara malaikat masih lebih kencang berteriak untuk mempertahankan
nyawanya.
Aku masih
berdiri di persimpangan yang sama tepat disebelahnya tanpa mencoba memilih
jalan, aku masih membisu melihatnya yang begitu kuat menahan terpaan angin
menunggu demi berjalan menuju ke jalan menyerah. Aku masih terus memperhatikan
setiap kedipan mata wanita itu. Aku sungguh yakin wanita itu adalah orang yang
merasakan hal yang sama denganku tapi ia sudah memilih untuk berjalan ke arah
jalan menyerah dan mengakhiri semua kepedihan yang hanya ia mengerti (aku juga
belum mengerti) berbeda denganku yang masih terasa berat melangkahkan tapak
kakiku menuju jalan ke depan, inginku berjalan mundur dan memperbaiki semuanya
bahkan mengakhiri semua ini dari awal tapi bagaimana bisa berjalan mundur
sedangkan jalan dibelakangku sudah berdinding beton baja masa lalu yang
mustahil dihancurkan.
Aku menikmati
setiap bisikan – bisikan rumput yang menggodaku di persimpangan ini tanpa aku
sadari wanita itu sudah maju lebih awal dan lebih depan satu langkah dari
tempat ku berdiri. “Membisu dan berfikir” itu yang aku lakukan. Mangapa tidak
ia genggam tanganku untuk melangkah bersamanya? Apa yang ia fikirkan hingga ia
memilih begitu cepat dibandingkan aku? Apa salah jika aku masih berharap angin
yang menerbangkanku? Bukankah hanya “pecundang” yang akan menyerah? Mengapa aku
hanya berfikir, berfikir, berfikir tanpa pernah bertindak?.
Wanita itu
sekarang sudah seribu langkah di depanku. Aku masih bisa melihatnya melayangkan
tapak kakinya menuju jalan yang ia pilih, jalan menyerah dan aku masih terus
berfikir. Sudah sewindu aku berdiri tanpa tau jalan mana yang aku pilih, tanpa
berbicara, tanpa bertindak dan sekarang aku sadar dari lamunan diamku, aku
mencoba membuka mulutku yang seolah – olah sudah terkunci , jika mulut ini
adalah ruangan mungkin aku membayangkan betapa penuh debunya dan betapa banyak
sarang laba-laba yang hinggap. Aku berteriak dengan suara letih “Mengapa tidak
susah bagimu?” dan wanita itu hanya berbalik dan tersenyum sambil terus
melayangkan tapak kakinya. Walaupun itu hanyalah senyuman tak berkata-kata tapi
aku seolah tau maksud dari senyumnya itu.
Aku bukanlah
menyerah sebagai pecundang tapi menyerah sebagai orang yang sadar akan keadaan,
dimana keadaan yang tidak pernah tau akan hadirnya aku yang terus menunggu dalam
diam. Aku bisa berlari untuk menuju jalan menyerah tapi aku lebih memilih
berjalan, karena aku hanya ingin menikmati semua pemandangan yang akan aku
lalui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar